src="https://ajax.googlelapis.com/ajax/libs/jquery/1.8.3/jquery.min.js"type="text/javascript">

Sunday, November 21, 2010

CINTA UNTUK BUNDA

Huda menyudahi bacaan Alqur’annya. Diliriknya jam didinding kamar, masih sepuluh menit lagi adzan subuh. Disandarkannya badan ke dinding. Matanya terpejam. Bimbang hatinya belum menemukan jawaban.
”Huda...bangun, nak” Sentuhan lembut mengusap kepala Huda.
Huda membuka matanya. Kepalanya menengadah, tersenyum pada wanita berwajah bidadari yang berdiri didepannya.
”Aku ga tidur, kok Bun. Tanggung, sebentar lagi kan Subuh”, ucapnya halus.
”Oh...bunda kira kamu ketiduran. Kamu ga sholat subuh di langgar? Sebentar lagi adzan lho”, tanya bunda.
”Absen dulu, Bun. Pengen jama’ah sama bunda dirumah”,jawab Huda sambil berdiri dan membenahi letak sajadahnya.
”Ya udah kalo gitu, Bunda ambil wudlu dulu ya..?” Bunda melangkah keluar.
Ekor mata Huda mengikuti bayang wanita terkasihnya itu sampai tak terlihat lagi. Dibentangkannya sajadah untuk Bunda. Semenjak abang-abangnya menikah dan tugas kerja di luar kota, dialah satu-satunya yang menjadi imam sholat dirumah ini. Dan Bunda adalah satu-satunya makmum. Hanya Bunda dan Huda yang menjadi penerus tradisi rumah ini. Ayah dan Bunda memiliki tradisi untuk sholat tahajud berjama’ah dan membaca Alqur’an sembari menanti shubuh. Semua anak-anaknya yang sudah akil baligh diajak serta untuk melaksanakannya. Kata Ayah setiap sepertiga malam, Allah SWT akan turun untuk mendengarkan setiap permohonan hambaNya. Dan Huda sejak usia lima tahun tak mau kalah dengan keempat abangnya. Dengan terkantuk-kantuk dia selalu ikut bangun dan sholat tepat dibelakang ayah. Walo tak jarang, dia tertidur lagi pada saat sujud di rakaat pertama. Dan ketika ayah meninggal, tradisi itu terus berlanjut. Ayah meninggal tiga belas tahun yang lalu, saat dirinya masih berusia sepuluh tahun. Hal yang tak pernah dilupakannya adalah pesan terakhir Ayah agar dia selalu menjaga Bunda. Huda menghela nafas panjang. Menjaga Bunda bukanlah suatu beban baginya. Justru dia memang ingin sekali bisa mendampingi dan merawat wanita mulia itu di masa tuanya. Bahkan dia telah menetapkan salah satu kriteria wanita yang akan menjadi istrinya haruslah wanita yang bisa ikhlas mencintai bunda seperti dirinya. Tapi, kesempatan yang diperolehnya beberapa hari yang lalu membuatnya bimbang. Sebuah tawaran menarik, yang bisa mewujudkan cita-cita Bunda dan dirinya. Namun juga membuatnya terpaksa harus mengkhianati amanah ayah. Huda menghela nafas panjang sekali lagi, hatinya beristighfar berulang kali. Bunda masuk kekamarnya dengan balutan mukena, tepat saat adzan subuh berkumandang.
****
”Huda...bangun, nak. Sudah jam setengah tujuh. Kamu ngajar jam berapa?”
Huda menggeliat, mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia tersenyum malu ketika melihat Bunda telah rapi, siap untuk berangkat mengajar ngaji. Dulu Bunda adalah seorang perawat, semenjak pensiun, beliau alih profesi menjadi guru ngaji untuk ibu-ibu sekitar rumah.
”Hari ini Huda off, Bun. Ga ada mata kuliah. Tapi agak siangan nanti tetap ke kampus. Hari ini Huda wawancara lanjutan pengajuan proposal tesis penelitian. Kalo disetujui, Huda bisa dapat beasiswa S2”, jawab Huda sambil beranjak bangun.
”Ya udah, cepetan mandi. Terus sarapan. Itu sarapannya udah Bunda siapin dimeja”, perintah Bunda.
Huda meringis. Ini salah satu kehebatan Bunda. Seingatnya belum pernah sekalipun dalam hidupnya melihat Bunda lalai menyiapkan sarapan. Sesibuk apa pun, sarapan adalah nomor satu. Seusai sholat subuh, bunda tak pernah melanjutkan tidur, beliau langsung menuju dapur untuk memasak, sedangkan dirinya seringkali terlelap lagi.
Setelah mandi dan sholat Dhuha, Huda segera melahap sarapan yang telah disediakan Bunda. Rumah terasa sepi sekali. Ketika dia mandi tadi, bunda mengetuk pintu kamar mandi berpamitan. Ah...kalo dia juga pergi dari rumah ini, Bunda pasti akan kesepian desisnya. Tapi tawaran yang diterimanya beberapa hari yang lalu benar-benar tak akan datang lagi. Bermula ketika dia mengirimkan lamaran ke sebuah perusahaan pertambangan besar di negeri ini. Dan pada akhirnya setelah melewati beberapa test, dia diterima. Tawaran yang diberikan oleh perusahaan itu sangat menarik. Selain gajinya yang belasan ribu US dollar, dia juga akan mendapat kesempatan untuk melanjutkan S2 di Jepang. Hal yang amat dicita-citakannya sejak kecil. Dia ingin seperti ayah, bisa sekolah di luar negeri. Dan dengan gajinya itu, dia juga bisa segera mewujudkan impian Bunda untuk menunaikan ibadah haji. Duh Bunda..Huda bisa merasakan kerinduanmu untuk bisa menginjakkan kaki di rumah Allah itu. Sejak dulu, Almarhum Ayah dan Bunda telah menabung untuk bisa berkunjung ke Baitullah. Namun, tabungan itu tak kunjung cukup. Bahkan beberapa tahun yang lalu, tabungan itu malah terkuras habis untuk biaya berobat ketika Huda mengalami kecelakaan. Dan saat itu Bunda tersenyum ikhlas menghapus airmata yang berlinang di pipi Huda, sambil berbisik lembut.
”Pergi haji memang diwajibkan bagi yang mampu, nak. Tapi, Anak adalah amanah dari Allah. Dan wajib hukumnya menjaga amanah dari Allah. Bila bunda tak mau menyelamatkanmu padahal bunda mampu, tentu Allah akan membenci bunda. Tak apa kalo Bunda tak bisa berangkat haji. Melihatmu kembali sehat, itu sudah membuat Bunda bahagia”.
Huda bersyukur sekali dilahirkan dari rahim seorang wanita mulia seperti Bunda. Wanita yang hatinya adalah lautan cinta dan kasih yang tak terbatas. Yang memiliki kesabaran, kesetiaan dan keikhlasan yang tak berujung. Ah...Huda sangat mencintai bunda. Tegakah dia membiarkan bunda tinggal sendirian di sini. Bila hanya untuk setahun dua tahun mungkin dia masih bisa menjalaninya. Tapi sanggupkah dia meninggalkan bunda untuk belasan tahun? Karena perusahaan pertambangan yang menerimanya itu akan mengikatnya dengan kontrak kerja selama 15 tahun. Dan Huda tahu, tak mungkin bunda mau ikut serta dengannya. Beliau pasti akan lebih memilih tetap tinggal disini. Karena itu cita-citanya selama ini, bisa menghabiskan sisa usianya dengan menjadi guru mengaji. Dulu ketika Huda kuliah di kota lain, keempat abangnya meminta bunda untuk tinggal bersama salah satu dari mereka. Mereka tak mau bunda tinggal sendirian. Tapi Bunda bersikeras untuk tetap tinggal di sini. Dan selama hampir empat tahun itu bunda tinggal sendirian. Sehingga Huda dan keempat abangnya harus membuat jadwal agar setiap minggu harus ada yang bisa pulang untuk menemani bunda. Setelah lulus kuliah, Huda bertekad untuk menebus kesendirian bunda itu dengan memilih pekerjaan sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di pusat kota. Walo jarak tempuh dari rumah ke tempat kerja lumayan jauh, setidaknya dia masih bisa pulang setiap hari. Sebenarnya pekerjaan saat ini sudah memberinya gaji yang lebih dari cukup. Tapi masih perlu waktu yang cukup lama untuk bisa memberangkatkan Bunda naik haji.
”Huda..makan kok sambil melamun, Nak?’ sapaan lembut Bunda mengagetkan Huda.
”Astagfirullah...Ehh...Bunda. Kok sudah pulang, Bun? Huda ga denger salam Bunda?” tanya Huda salting.
”Ibu-ibu pada ambil rapor hari ini. Ngajinya di tunda nanti sore. Tadi Bunda udah berkali-kali salam tapi ga ada jawaban. Ga taunya kamu ngelamun di sini..”jawab Bunda sambil menarik kursi di depan Huda.
”Duduk dulu..”perintah Bunda saat Huda beranjak berdiri hendak membereskan bekas makannya.
”Bunda lihat beberapa hari ini kamu sering sekali melamun. Boleh bunda tau kenapa? Apa kamu punya beban, nak?” tanya bunda sambil menatapnya lembut.
”Emm...”, beberapa saat Huda terdiam. Tapi ketika melihat keteduhan di mata bening bunda, dirinya tau bahwa tak ada yang bisa disembunyikan dari wanita mulia itu. Akhirnya mengalirlah cerita mengenai tawaran perusahaan pertambangan yang diterimanya tempo hari. Mengenai kekhawatirannya bila harus meninggalkan bunda. Semua diceritakannya, kecuali mengenai alasannya untuk bisa mewujudkan cita-cita bunda naik haji. Dia tau Bunda adalah wanita yang tak suka membebani orang lain. Dan dia tak mau bunda malah jadi sedih, bila tau bahwa selama ini hal itu masih menjadi pikirannya. Bunda mendengarkan semua cerita Huda dengan penuh perhatian. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum.
“Gimana menurut Bunda? Apa Huda harus menerima tawaran itu? Apa Bunda mau ikut Huda ke Kalimantan?”Tanya Huda mengakhiri ceritanya.
Bunda tersenyum lagi. Dengan penuh kasih ditatapnya putra bungsunya itu. Sejenak kemudian beliau berucap, ” Bukannya Bunda ga mau ikut kamu, nak. Tapi..bunda sungguh berharap bisa menghabiskan seluruh sisa umur Bunda disini. Itu salah satu cita-cita Almarhum Ayahmu juga”.
”Tapi..Huda ga mungkin ninggalin Bunda sendirian disini. Huda ga mungkin mengkhianati amanah Ayah untuk selalu jagain bunda. Huda juga sudah bicara sama semua abang, dan mereka setuju kalo Bunda mau ikut sama Huda”, Huda menatap wajah bunda dengan penuh harap.
“Sayang..bunda ga mau jadi penghalang kesuksesan anak-anak bunda. Jangan kamu jadikan penolakan bunda untuk ikut denganmu ini sebagai batu sandunganmu. Insya Allah, bunda akan baik-baik saja di sini. Kita bisa saling menjaga setiap saat lewat do’a. Karena sesungguhnya hanya Allah yang selalu menjaga kita. Sungguh..bunda hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik, nak. Bunda tak bisa menyarankan apa-apa. Sholat isthikarahlah, mohon petunjuk Allah. Hanya DIA yang tau apa yang terbaik untukmu”, jawab Bunda dengan tulus. Mata beningnya berkaca-kaca.
Huda berdiri dan memeluk Bunda. Isak yang ditahannya sedari tadi pecah di pangkuan wanita terkasih itu.
***
Seminggu semenjak pembicaraannya dengan Bunda, akhirnya Huda mengambil keputusan untuk menolak tawaran dari perusahaan pertambangan itu. Hal ini disebabkan karena setiap kali selesai sholat istikharah, mimpinya selalu membayang wajah bunda. Bahkan semalam ayah datang dalam mimpinya, tersenyum lalu menepuk-nepuk bahunya. Hal yang dulu selalu beliau lakukan untuk menunjukkan kebanggannya pada anak-anaknya. Dan mungkin, dia harus puas bisa melanjutkan S2nya di negeri sendiri. Karena Alhamdulillah, proposal tesis penelitiannya disetujui oleh Rektorat. Sehingga beasiswa S2 dapat dikantonginya. Satu-satunya hal yang masih membuatnya sedih adalah tabungannya masih jauh untuk bisa memberangkatkan Bunda ke tanah suci. Dalam setiap sujudnya, dia tak pernah henti memohon pada Allah. Agar diberi kemudahan dalam mewujudkan cita-cita itu.
Huda baru saja selesai dari munajat dhuhanya, ketika pintu ruang tamu diketuk.
”Assalamu’alaikum...bunda”sapa suara di luar.
”Wa’alaikumsalam Warrahmatullahi Wabarakatuh, bang..sebentar ya..”.
Dengan bergegas, Huda membukakan pintu. Itu suara bang Ridwan, kakak ketiganya. Begitu pintu terbuka, dia dan bang Ridwan saling memeluk. Diciumnya tangan abangnya itu.
”Pulang kok ga kasih kabar dulu, Bang?”, tanya Huda sambil mengangkat barang bawaan kakaknya.
”Mendadak ini, dik. Sebenarnya kakakmu Vira juga pengen ikut sowan ke bunda. Tapi kantornya ga ngijinin dia untuk cuti dadakan,”jawab Bang Ridwan sambil menghempaskan dirinya ke kursi.
”Bunda mana, dik? Sepi banget? Kamu juga kok belum berangkat ngajar?” tanya bang Ridwan heran.
”Bunda sudah berangkat ngajar ngaji, bang. Saya hari ini cuti. Lagipula kampus lagi libur semesteran”, jawab Huda setengah berteriak dari dapur.
“Memang ada apa tho,bang? Kok mendadak banget pulang ”, tanya Huda sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja.
Bang Ridwan segera menyeruput teh yang dihidangkan Huda, lalu menjawab.
”Begini, lho dik. Abang dan kak Vira sudah lama menabung untuk bisa berangkat haji. Dan tahun ini tabungan itu sudah cukup untuk biaya haji satu orang. Kakakmu Vira mendesak abang untuk berangkat terlebih dahulu tahun ini. Dan Alhamdulillah, dua hari yang lalu Abang mendapat rejeki dari Allah. Kantor memberi abang kesempatan untuk berangkat haji tahun ini. Semua biaya ditanggung oleh kantor. Jadi, abang kemari untuk meminta kesediaan bunda berhaji bersama abang tahun ini”.
Jantung Huda berdegup kencang mendengar penjelasan abangnya. Ya, Rabb..apakah ini jawaban dari do’a hamba?
”Lalu kak Vira bagaimana? Bukankah tabungan itu hak dia..?”, tanya Huda bergetar. Dia belum yakin dengan perkataan abangnya.
”Kakakmu berpendapat, rejeki yang abang dapat dari kantor itu adalah rejeki bunda. Karena bunda yang tak pernah henti mendoakan kesuksesan abang. Jadi intinya sebenarnya abang berangkat dengan uang tabungan kami. Dan kesempatan dari kantor itu adalah rejeki Allah untuk bunda ”, jelas Bang Ridwan.
Hati Huda haru mendengar penjelasan itu. Ya Rabb..terima kasih karena Engkau telah menyandingkan abangnya dengan wanita berhati bidadari.
Dalam sujud syukurnya, terngiang ayat-ayat Al Qur’an yang dibacanya seusai tahajud tadi. ”Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu. Agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”(Q.S. Al Baqarah :186).
Alhamdulillah ya, Allah...atas cintaMu untuk Bunda...

Surabaya 2004 by Rhie

No comments: